Sabtu, 29 Juni 2013

WAJIBKAH MEMBASAHI RAMBUT DI WAKTU MANDI JUNUB ?


S O A L :
Bolehkah perempuan mandi dari janabat atau haidl atau nifas, tiada dengan membasahi rambutnya ?

J A W A B :
Dari hal urusan membasahi rambut bagi perempuan yang tersebut, ‘ulama’ ‘ulama’ fiqh bertentangan menjadi beberapa firqah. Firqah yang pertama membilang, bahwa perempuan yang tersebut itu wajib membasahi sekalian rambutnya, dan tiada boleh ketinggalan satupun rambut yang tiada kebasahan. Dan firqah yang kedua ada membilang, tiada kewajiban bagi perempuan itu membasahi sekalian rambutnya, tetapi cukup dengan menuang tiga kali di atas kepalanya, dan tidak ada kewajiban pula membuka sanggul kepalanya tatkala ia mandi.
Diuraian ini kami akan terangkan alasan-alasan yang digunakan oleh satu-satunya firqah ; dan mana yang dalilnya itu shahih akan kami terangkan sahnya, dan yang tidakpun akan kami terangkan. Inilah keterangannya :

Pendapat firqah pertama :

Kami berpendapat, bahwa perempuan yang mandi janabah, atau haidl, atau nifas itu, wajib membasahi sekalian rambutnya dengan sempurna, tidak boleh kurang, walaupun satu rambut. Adapun yang kami buat alasan ialah Hadiets yang tersebut di bawah ini :
Artinya : Telah berkata ‘Ali bin Abi Thalib : Saya pernah dengar Ra.srilullah s.a.w. bersabda : ,,Barang siapa membiarkan satu ternpat rambut yang berjanabah dengan tiada kena air, maka Allah akan berbuat kepadanya begini dan begini dari neraka. (yakni disiksa) ” Berkata ‘Ali : Maka lantaran itu, saya memotong rambut saya.
(H.R. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Hadiets ini sudah disahkan oleh imam Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqallani, pengarang kitab Fat-hulBari. 

Ada lagi Hadiets :

Artinya : Telah berkata Abu Hurairah : Rasulullah s.a.w. pernah bersabda : „Tiap-tiap rambut ada berjanahah. Lantaran itu basahilah rambutmu, dan bersihilah kulitmu”.
(H.R. Abu Dawud, Turmudzi, Baihaqie).

Hadiets yang kesatu dan kedua itu perintah kepada orang lslam lelaki dan perempuan, apabila mandi janabah supaya membasahi mana-mana yang dinamakan rambut, dan janganlah sampai ada satupun yang tiada kebasahan, agar supaya selamatlah dari pada ancaman Allah yang telah diterangkan oleh Hadiets yang kesatu tadi.

Adapun perempuan, maka supaya membuka sanggulnya agar bisa basah semua rambutnya. Dan perempuan yang berhaidl itu tidak ada bedanya dengan yang berjunub di tentang mandi. Lihatlah Hadiets yang di bawah ini :

Artinya : Telah berkata Anas, bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda : „Apabila perempuan mandi dari haidlnya, supaya ia mernbuka rambutnya sama sekali dan mencucinya dengan khitmi dan usynan 2″.
(H.R. Daraquthni dan Baihaqie).

Dan perempuan yang bernifas itu diperintah oleh Rasulullah supa,ya mandi.
Artinya : Telah berkata ‘Aisyah : Asma’ binti ‘Umais melahirkan Muhamrnad bin Abi Bakar di (tempat yang bernama) Syajarah, kemudian Rasulullah s.a.w. perintah kepada Abi Bakar menyuruh dia mandi, dan kemudian menjalankan ihram.
(H.S.R. Muslim, Ibnu Majah dan Abu Dawud).

Dan sudah tentu saja, bahwa mandinya perempuan yang bernifas itu, sebagaimana mandinya perempuan yang berjunub dan berhaidl.
 
Sekianlah keterangan kami.

Pendapat firqah kedua.

Kami tidak cocok sama sekali dengan sekalian yang diuraikan oleh fihak pertama, oleh karena keterangan mereka itu tidak memuaskan bagi orang yang mencari kebenaran dan ke-inshafan, lantaran disebabkan dari alasan-alasan mereka itu ada yang lemah yang tidak boleh dibuat hujjah dan bukti, dan ada pula yang tidak cocok buat meneguhkan pendirian mereka.

Perhatikanlah bantahan kami terhadap kepada alasan-alasan mereka dan faham mereka seperti yang tersebut di bawah ini :

A). Alasan mereka dengan Hadiets yang pertama yaitu : „Barangsiapa membiarkan sesuatu tempat rambut yang berjanabah dengan tidak kena air, maka Allah akan berbuat kepadanya begini dan begini dari neraka”.
Maka imam Ibnu Hajar Al-’Asqallani berkata tentang Hadiets ini, dengan perkataan
Artinya : Isnad Hadiets ini shahih.
Kami berkata : Bahwa kami tidak setuju sama sekali dengan apa yang telah dikatakan oleh imam Ibnu Hajar, karena Hadiets itu sudah menjadi pembicaraan yang menjatuhkannya disebabkan, bahwa di dalam isnadnya ada terdapat tiga orang yang tidak boleh dipercaya, yaitu ‘Atha’, Hammad, Zadzan,
demikianlah menurut katanya imam Nawawi pengarang kitab Majmu’ Syarhil-Muhadzdzab, dan lain-lainnya daripada ‘ulama’ Ahlul-Hadiets. Maka dari itu tertolaklah Hadiets ini daripada jadi alasan.

B). Alasan mereka dengan Hadiets yang kedua, yaitu : „Tiap-tiap rambut berjanabah ; lantaran itu basahilah rambutmu, dan bersihilah kulitmu”.
Kami mengakui, bahwa Hadiets ini diriwayatkan oleh tiga imam, yaitu Abu Dawud, Turmudzi dan Baihaqie. Tetapi mereka itu tiada menerangkan hal penyelidikan mereka tentang isnadnya Hadiets itu.
Kami berjumpa di dalam isnadnya seorang yang bernama Harts bin Wajih.
Dia dilemahkan oleh sekalian penganjur ‘ulama’ Ahlul-Hadiets, lebih-lebih ketiga imam yang meriwayatkan Hadiets yang tersebut.
Pendeknya, kami berkata, bahwa tidak ada Hadiets yang serupa ini yang sah dari Rasulullah s.a.w.
Adapun Hadiets yang tersebut di bawah ini :
Artinya : Telah berkata Hasan : Saya pernah diberi khabar, bahwa Rusulullah s.a.w. itu ada pernah bersabda : Tiap-tiap rambut ada janabah. Lantaran ilu basahilah rambutmu, dan bersihllah kulitmu.
(H.R. Sa’id bin Manshur).
Namanya mursal 3 oleh karena Hasan itu dari golongan tabi’ien. Jadi sudah tentu saja jikalau ia meriwayatkan Hadiets daripada Nabi s.a.w. dengan tiada perantaraan Shahabat, tertolaklah riwayatnya, oleh karena tidak bisa jadi ia riwayatkan Hadiets daripada Nabi s.a.w., padahal dia dilahirkan dimasa Tabi’ien yang paling terakhir, malahan belum pernah ia mendengar riwayat Hadiets dari seorang Shahabatpun.
Maka dari itu, sekalian ‘ulama’ Ahlul-Hadiets telah cocok dan akur atas melemahkan mursalnya Hasan.

C). Adapun alasan mereka dengan Hadiets yang ketiga, yaitu :
Telah berkata Anas : Bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda : „Apabila perempuan mandi dari haidlnya, supaya membuka rambutnya sama sekali dan mencucinya dengan khitmi dan usynan”.
Hadiets ini diriwayatkan oleh imam Daraquthnie dan Baihaqie daripada jalan Muslim bin Shabieh dari Hammad bin Salamah. Dan Muslim itu apabila berlainan dari orang-orang lain tentang meriwayatkan Hadiets, maka tertolaklah riwayatnya. Di sini ia meriwayatkan Hadiets yang berlainan dengan lain-lain nya, yaitu ia telah meriwayatkan Hadiets, bahwa Rasulullah s.a. w. menyuruh perempuan, apabila hendak mandi dari haidl itu, supaya membuka rambutnya, padahal lain-lainnya itu meriwayatkan tidak sama dengan demikian. Lantaran itu, riwayat si Muslim tidak diterima ‘ulama’ Ahlul-Hadiets, dan lebih-lebih dia itu meriwayatkan Hadiets tadi dari Hammad, padahal si Hammad itu sudah terkenal kelemahannya.
Kami merasa heran, mengapa fihak yang pertama itu, me¬riwayatkan Hadiets yang ketiga tadi diambil mana yang berhu¬bungan dengan mandi haidl saja, dan sambungannya yang ber¬hubungan dengan mandinya siperempuan janabah, tidak disebutkan ?
Inilah terusannya Hadiets yang tersebut.
artinya: : Maka apabila (perempuan) mandi dari janabah supaya menuang air di atas (rambut) kepalanya, kernudian dia memerasnya.
Jadi, kalau begitu, Hadiets yang tersebut itu memerintah, supaya membuka rambut apabila mandi dari haidl, dan tidak usah apabila cuma mandi dari janabah saja, tetapi oleh karena Hadietsnya tidak sah, jadi tidak boleh dibuat hujjah.
Dan sekarang kami akan menunjukkan fasal cara-cara mandi perempuan dari haidl dan janabah.
Inilah keterangannya :
Artinya : Telah berkata ‘Aisyah : Bahwa Nabi s.a.w. pernah bersabda kepadanya diwaktu ia berhaidl : “Bukalah rambutmu, kemudian mandilah”.
(H.S.R. Abu Dawud, Ibnu Hibban, Ibnu Majah, Nasai dan Ahmad).
Hadiets ini tidak terang menunjukkan, bahwa mandi dari haidl itu wajib bagi perempuan supaya membuka rambutnya, tetapi cuma menunjukkan, bahwa membuka rambut itu hukumnya utama saja.
Inilah menurut pendapat sebagian ‘ulama’ madzhab imam Ahmad bin Hanbal dan kebanyakan ‘ulama’-'ulama’ Ahlul-Fiqh. Dan mereka itu ada beralasan dengan Hadiets yang tersebut dibawah ini :
Artinya : Telah berkata Ummu Salamah kepada Nabi s.a.w. : Saya ini seorang perempuan yang menyanggul rambutku. Lantaran itu apakah mesti saya membuka sanggul itu bagi (mandi) haidl dan janabat ? Sabda Rusul : „Tidak usah, rnelainkan cukuplah engkau menyiram kepalamu tiga kali, engkau bisa jadi bersih”.
(H.S.R. Muslim).
Dan lagi Hadiets :
Artinya : Telah berkata Ubaid bin ‘Umair : Telah sampai (kha¬bar) kepada ‘Aisyah, bahwa ‘Abdullah bin ‘Amr ada perintah kepada perernpuan-perempuan, apabila mereka mandi supaya membuka sanggul mereka, kemudian beliau berkata : Heran sekali bagi Ibnu ‘Amr ! Ia perintah perempuan-perempuan, apabila mandi supaya membuka sanggul mereka, apakah dia tiada menyuruh mereka supaya mencukur kepala mereka ? Sungguh saya pernah mandi beserta Rasulullah s.a.w. dari satu bijana, dan saya tiada menuang (air) atas kepala saya, lebih daripada tiga tuangan.
(H.S.R. Ahmad dan Muslim).
Hadiets ini dan yang sebelumnya, menerangkan dengan tegas, bahwa mandinya perempuan dari haidl atau janabah itu, tidak usah dengan membuka sanggulnya, asal saja sudah menuang air atas kepalanya tiga kali.
Dan ada pula Hadiets yang membantu :
Artinya : Telah berkata Tsauban, bahwa mereka (shahabat) pernah bertanya kepada Nabi s.a.w. (tentang cara-cara mandi janabat). Maka Nabi bersabda : “Adapun orang lelaki, muka supaya merebang rambutnya, kemudian dicucinya sehingga sampai ke pangkal-pangkal rambutnya ; dan adapun perempuan, maka tidak ada halangan jikalau tidak tembuka sanggulnya.
(H.R. Abu Dawud).
D). Adapun perempuan yang sudah bersih daripada nifasnya, maka wajiblah baginya mandi. Inilah dalilnya daripada sabda Nabi s.a.w. :
Artinya : Telah berkata Abud-Darda’ dan Abu Hurairah, bahwa Rasululldh s.a.w. pernah bersabda : „Perempuan yang nifas itu, perlu tunggu empat puluh hari, kecuali kalau ia bersih sebelum itu, maka jika sudah sampai empat puluh hari, tetapi belum juga berhenti, hendaklah ia mandi.
(H.R. Ibnu ‘Adie).
Dan cara mandi dari nifas itu, tidak ada bedanya dengan mandi dari haidl atau janabah. Maka siapa yang berkata, bahwa mandinya itu ada berlainan dari yang tersebut, kami mengharapkan sudi ia menunjukkan dalilnya dan kami akan terima dengan senang hati.

Md. Mm.

Soal Jawab 1 : 63-69 cet XI Diponegoro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar