Sabtu, 29 Juni 2013

BACA ATAU SENTUH QUR'AN DENGAN HADATS BESAR

S O A L :
Bagaimanakah hukumnya perempuan yang haidl, membaca Qur’an atau menyentuh Qur’an, atau masuk ke masjid ?

J A W A B :
Dipertanyaan ini, ada tiga masalah yang berhubungan dengan perempuan yang berhaidl, yaitu : pertama, perkara membaca Qur’an kedua menyentuh Qur’an dan ketiga, masuk masjid.
Tiga pertanyaan ini, kami jawab dengan keterangan seperti yang tersebut di bawah ini :
1). Adapun tentang perempuan yang berhaidl membaca Qur’an itu, ‘ulama’-'ulama’ yang paling banyak, ada menghukumkan haram. Mereka itu beralasan dengan Hadiets ini .
Artinya : Telah berkata Ibnu ‘Umar, sabda Nabi s.a.w. : „Tidak boleh membaca Qur’an orang yang junub dan tidak boleh (pula) perempuan yang berhaidl”.
(H.R. Abu Dawud, Turmudzi dan Ibnu Majah).
dan ada lagi Hadiets :
Artinya : Telah berkata Ibbir : Sabda Nabi s.a.w. : „Perempuan yang berhaidl dan bernifas tidak boleh membaca akan sesuatu dari pada Qur’an”.
(H.R. Daraquthni).
Dua Hadiets ini, tidak diterima oleh sebahagian ‘ulama’ Ah¬lul-Hadiets, karena lemahnya.
Adapun keterangan mereka begini :
Hadiets yang pertama itu tidak sah, karena di dalam isnadnya terdapat orang yang bernama Ismail bin ‘Ayasy, maka dia itu dilemahkan oleh imam-imam seperti Ahmad, Bukhari dan lain-lain, dan di Hadiets yang kedua terdapat pula di dalam isnad¬nya orang yang bernama Muhammad bin Fadl-I, padahal dia pula orang yang sudah terkenal sebagai tukang memalsu Hadiets.
Pendek kata, tidak ada Hadiets yang sah daripada Rasu¬lullah s.a.w. difasal ini.
Sekarang, sesudah terang dan nyata kelemahan Hadiets itu, tentu lantas tertolaklah hukum yang mengatakan, bahwa perempuan yang masih berhaidl atau bernifas tiada boleh membaca Qur’an itu.
Adapun dimasalah orang junub membaca Qur’an, ‘ulama’¬’ulama’ ada berlainan faham, sehingga menjadi dua fihak.
Fihak yang pertama mengatakan boleh dan yang kedua mengatakan haram. Disini akan saya terangkan dengan uraian yang jelas dari faham mereka masing-masing, sambil saya terangkan pula alasan-alasan mereka yang lemah dan yang sah.
Berkata fihak pertama :
Kami tiada berani menghukumkan haram pembacaan Qur’an diwaktu junub, karena kami belum pernah berjumpa Hadiets yang bisa memuaskan hati, yaitu Hadiets yang terang dan tidak bisa menerima ta’wil serta shahih.
Adapun Hadiets yang dibuat alasan oleh fihak lain itu begini ,
Artinya: Telah berkata ‘Ali bin Abi Thalib: Bahwa adalah Rasulullah .s.a.w. sering membacakan kita akan Qur’an di tiap¬ tiap masa beliau itu keadaannya tidak berjunub.
(H.R. Ahmad, Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah, Turmudzi, dan ia berkata : Hadiets ini baik shahih).
Sebelumnya kami membantah matannya Hadiets itu, lebih baik kami bantah dulu isnadnya, karena inilah yang terlebih perlu.
Hadiets tadi sudah disahkan oleh imam Turmudzi saja, lantaran imam Syafi’ie telah berkata
Artinya : „Bahwa Ahlul-Hadiets tiada bersama menetapkan sahnya (Hadiets ini)”.
Terbukti sekarang dari perkataan imam Syafi’ie, bahwa ‘ulama’-'ulama’ yang sebelumnya imam Turmudzi itu, semua tidak mengesahkan, melainkan imam Turmudzi sendiri saja, sedang dia itu terbelakang daripada mereka dari apapun juga. Dan berkata imam Nawawi :
Artinya : Kebanyakan Ahlul-Hadiets berlainan dengan Turmudzi ; dan mereka dla’ifkan Hadiets itu.
Dan adapun lemahnya Hadiets ini, maka dari sebab, bahwa di dalam isnadnya kedapatan seorang yang bernama Abdullah bin Salimah dan ia itu dilemahkan oleh sekalian penganjur-penganjur Ahlul-Hadiets.
Dan sebabnya ia dilemahkan, karena ingatannya sudah berubah. Demikian keterangan menurut pemeriksaan imam Al¬Baihaqie, dan berkata Imam Syu’bah :
„Bahwa Abdullah itu tatkala meriwayatkan Hadiets ini, sesudah tua dan berubah”.
Dan sudah semestinya Hadiets itu sekarang tertolak, dan walaupun Hadiets itu shahih, masih belum boleh buat alasan, karena Hadiets yang diriwayatkan oleh shahabat Ali itu cuma menerangkan perbuatan Nabi s.a.w. yang beliau itu tiada pernah membaca Qur’an dimasa junub ; dan tiada pernahnya Rasulullah itu tiada menunjukkan atas haramnya atau makruhnya. Maka dari itu, sekarang kami kembali kepada Al-bara-atul-ash¬liyah (ketiadaan larangan pada asal) yaitu, boleh membaca Qur’an oleh siapapun ; dan ‘ulama’-'ulama’ yang membolehkan bacaan bagi orang yang junub ialah seperti : Bukhari, Thabari, Ibnu-Mundzir, Dawud ; dan mereka itu beralasan dengan ala¬san-alasan yang seperti di bawah ini
Artinya : Telah berkata ‘Aisyah, Rasulullbh s.a.w. itu menyebut (nama Allah) ditiap-tiap masa. (H,S.R. Muslim)
Keterangan ini tiada mengecualikan masa yang beliau junub. Jikalau memang begitu, tentu saja Sitti ‘Aisyah menerangkannya.
Maka dengan Hadiets ini, kami bisa mengambil keputusan, bahwa orang junub itu boleh membaca Qur’an. Dan pendapat kami diakui pula oleh Ibnu ‘Abbas.
Lihatlah yang di bawah ini :
Artinya : Bahwa Ibnu ‘Abbas itu tiada memandang halangan bagi orang junub membaca (Qur’an).
(R. Bukhari),
dan ada lagi :
Artinya : Telah berkata Hakam (seorang shahabat) : Sesungguhnya saya menyembelih, padahal saya di waktu junub, karena Allah berkata : Janganlah kamu memakan (sembelihan) yang tiada disebut nama Allah.
(R. Bukhari),
ada lagi pula :
Artinya : Bahwa lbnu ‘Abbas biasa membaca wiridnya (sebagian dari pada Qur’an) padahal dia itu junub. (R. Ibnu Mundzir)
ada lagi riwayat :
Artinya : Berkata Ibnu ‘Abbas : Abu Sufyan memberi khabar kepada saya, bahwa Hiraklus pernah minta surat yang dari Nabi s.a.w. kemudian ia bacakan dia, maka disitu ada (firman AIIah) : Dengan nama Allah Pemurah, Penyayang. Hai orang-orang Ahlul-Kitab marilah kepada Agama …………
(S.R. Bukhari)
Hiraklus itu beragama Kristen, dan diagamanya tidak ada perintah yang mewajibkan orang junub supaya mandi, dan sudah tentu saja tatkala membaca surat dari Nabi s.a.w. itu, ia ada di dalam junub. Dan ini boleh kami buat pegangan lagi, bahwa orang junub itu boleh membaca Qur’an. Kalau tiada boleh, tentu saja Nabi kita s.a.w. tatkala menulis surat itu, tidak akan sertai dengan Ayat.
Sekianlah keterangan, kami.
Berkata fihak kedua :
Keterangan yang ketiga yang dari ‘Ali itu diriwayatkan pula oleh imam-imam, seperti Ibnu Khuzaimah, Hakim, Bazzar’ Daraquthni dan Baihaqie.
Dan adapun perkataan yang mengatakan, bahwa Hadiets yang tersebut tadi tiada yang mengesahkan, melainkan imam Turmudzi saja, ini perkataan amat keliru sekali, dan tidak cocok dengan kenyataan.
Sebab selain dia, juga ada yang mengesahkan seperti imam Ibnu Hibban, Ibnu Sakan, Abdulhaq, Al-Baghawi, Ibnu Khuzaimah dan Syu’bah. Kami akui kelemahan Hadiets ini tentang ma’nanya, ya’ni tidak terang pada mengharamkan. Perhatikanlah saudara pembaca akan perkataan baginda ‘Ali, bahwa Nabi s.a.w. sering membacakan Qur’an kepada shahabat-shahabatnya tiap-tiap masa melainkan beliau berjunub. Ini memberi arti, bahwa sebabnya beliau meninggalkan itu, boleh jadi oleh karena pembacaan bagi orang junub itu haram, dan boleh jadi Nabi kita s.a.w. itu tiada suka membaca, melainkan atas kebersihan.
Lihatlah apa yang tersebut di bawah ini :
Artinya : Diriwayatkan daripada Muhajir bin Qunfudz, dia itu pernah memberi salam kepada Nabi s.a.w. padahal beliau sedang wudlu’, maka beliau tidak menjawab kepadanya, sehingga selesai daripada wudlu’ ; kemudian menjawab kepadanya sambil berkata : „Sesungguhnya tiada menjadi halangan bagi saya akan menjawab kepadamu, melainkan, bahwa saya tidak suka menyebut nama Tuhan, melainkan atas kebersihan”.
(H.S.R. Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dawud dan Nasai)
Jadi pendeknya, bahwa Nabi s.a.w. tidak membara Qur’an diwaktu junub itu, sebabnya kurang terang, ya’ni boleh jadi karena haram, dan boleh jadi karena beliau tiada suka.
Dan tidak boleh ditentukan tidak-bolehnya, oleh karena haramnya atau tidak sukanya Nabi s.a.w., melainkan dengan keterangan yang jelas dan sah daripada Rasulullah s.a.w.
Adapun kami, maka kami menetapkan, bahwa Nabi tidak membaca Qur’an dimasa junub itu, karena haram membacanya diwaktu itu.
Inilah alasan kami :
Artinya : Berkata ‘Ali : Bahwa Nabi s.a.w. pernah bersabda : „Bacalah kamu akan Qur’an, selama seorang daripada kamu ti¬dak kena janabat, maka jika kena janabat, tidak boleh walaupun satu huruf.
(H.S.R. Daraquthni).
Hadiets ini menunjukkan dengan terang yang tidak boleh diputar-putar lagi. bahwa orang junub itu diharamkan membaca Qur’an. Sekarang kalau ada orang yang tidak suka menerima Hadiets ini lantaran Hadiets ini mauquf, ya’ni tidak sampai kepada Nabi, cuma menjadi perkataannya ‘Ali yang tidak boleh dibuat pegangan, maka kami unjukkan satu lagi Hadiets yang marfu’ (yang sampai kepada Nabi) yang tidak bisa orang yang mencari kebenaran dan keinshafan akan menolaknya.
Inilah Hadietsnya :
Artinya : Telah berkata ‘Ali : Saya pernah lihat Rasulullah s.a.w. berwudlu’, kemudian membaca sebahagian daripada Qur’an (sambil bersabda) : „Beginilah bagi orang yang tiada junub. Adapun yang junub, tidak boleh, walaupun satu Ayat”.
(H.S.R. Abu Ya’laa)
Hadiets ini kami sahkan, karena belum berjumpa di dalam isnadnya seorang yang tertuduh dengan ……… dan memang kami belum pernah mendengar dari seorang Ahlul-Hadiets yang melemahkan sanadnya. Kalau ada tunjukkanlah namanya kepada kami, tentu akan kami terima dengan senang hati. Dan telah kami jumpai perkataan dari seorang Ahlul-Hadiets yang namanya itu Al-Haitsamie terhadap kepada Hadiets yang tersebut artinya : Orang-orang yang menceriterakan Hadiets ini boleh dipercaya. Dan sesudah terang sahnya Hadiets ini bagi orang yang inshaf, maka kami berkata, bahwa Hadiets ini bisa menyinari Hadiets-hadiets yang dianggap gelap oleh lain-lain dari kami.
Pendapat kami terhadap kepada alasan-alasan fihak pertama.
Kami berkata, bahwa alasan fihak pertama dari riwayat Aisyah, bahwa Nabi s.a.w. senantiasa menyebut nama Tuhan ditiap-tiap masa itu, tidak membuktikan kalau Nabi s.a.w. itu ada pernah membaca Qur’an dimasa junub, adapun keterangan kami ialah Hadiets-hadiets yang kami terangkan di atas tadi yang mana Rasulullah telah haramkan bacaan Qur’an, walaupun satu Ayat dimasa junub, dan sabda Rasulullah s.a.w. terhadap kepada Muhajir yg memberi salam kepadanya yang mana beliau itu waktu berhadats kecil dengan perkataan : „Saya tidak suka menyebut nama Allah melainkan atas kebersihan”.
Ketahuilah, jika Nabi kita itu tidak suka menyebut nama Allah diwaktu yang beliau berhadats kecil, apa lagi diwaktu berhadats besar.
Adapun alasan mereka dengan riwayat dari Ibnu ‘Abbas dan satu dari Hakam, kami tidak suka menerima, karena imam Bukhari itu menceritakan riwayat-riwayat itu dengan tidak ada isnad. Dan walaupun sah dari Ibnu ‘Abbas dan Hakam, ya, tidak kami terima, sebab tidak cocok dengan Hadiets yang sah dari Nabi s.a.w.
Adapun surat Nabi kita s.a.w. yang memuat Ayat-ayat yang dibaca oleh Hiraklus itu tiada keterangan, bahwa ia tatkala baca surat itu ada dimasa junub.
Lantaran itu, maka tertolaklah alasan ini. Sekianlah keterangan kami. Md. Mm.
Pemandangan
Tiap-tiap satu perkara sebelum ada larangan, halal dikerja¬kan. Orang junub membaca Qur’an itu pada asalnya tentu halal, malahan membaca Qur’an itu diperintah dengan tidak disertakan syarat apa-apa. Kemudian dari itu ada larangan. Larangan itu perlu ditimbang.
Kita sudah tau tadi, bahwa membaca Qur’an oleh orang yang junub itu pada asalnya halal.
Halalnya itu dikuatkan oleh satu riwayat dari ‘Aisyah yang berkata, bahwa Rasulullah menyebut Allah itu tidak memilih waktu. Kalau sekiranya membaca Qur’an diwaktu junub itu haram, tidak patut, tidak dikecualikan oleh Sitti ‘Aisyah diriwayat ini atau diriwayat lain.
Juga dikuatkan oleh riwayat Ibnu ‘Abbas (keterangan ke 2) yang tidak memandang haram orang junub membaca Qur’an. Riwayat Ibnu ‘Abbas itu menunjukkan. bahwa dizamannya sendiri, sudah jadi pembicaraan tentang itu.
Kalau betul hal itu haram, tidak patut tidak tersiar dizaman Nabi s.a.w. dan tidak patut tidak diketahui oleh Ibnu ‘Abas yang begitu rapat kepada Nabi.
Keterangan ke 7, riwayat Hakam (seorang shahabat Nabi), juga menunjukkan yang ia sudah dengar ada orang berkata : Orang junub tak boleh sebut nama Allah.
Tetapi dengan terang, Hakam mengaku yang ia sembelih di dalam waktu ia berjunub, dengan sebut nama Allah. Kalau sekiranya hal itu betul haram, tak patut Hakam itu tidak tahu, dan tak patut ia langgar dengan tidak periksa lebih dahulu.
Keterangan yang ke 8, menerangkan Ibnu ‘Abbas biasa membaca wiridnya dari Qur’an dengan berjunub. Kalau betul dan sah ada larangan dari Nabi, tentulah Ibnu ‘Abbas tidak lakukan begitu. Ditambah pula oleh keterangan yang ke 9, yang menunjukkan Nabi ada kirim surat kepada Hiraklus itu dengan Ayat¬ayat Qur’an. Kalau hal itu betul haram, tentulah Rasululah tidak kirim surat itu kepadanya, karena sudah tentu raja itu tidak ada mandi janabat dulu buat pegang dan baca surat itu. Golongan yang menyatakan haram membaca Qur’an diwaktu junub itu alasannya :
I. keterangan yang ke 1 dan ke 3. Dua-dua Hadiets itu lemah, tak boleh dibikin alasan.
II. keterangan yang ke 3.
Ini juga lemah. Didla’ifkan oleh semua Ahlul-Hadiets.
III. keterangan yang ke 10. Keterangan ini tidak berhubungan dengan junub, hanya berhubungan dengan hadats kecil.
Keterangan ini dapat dijatuhkan oleh beberapa riwayat dari Nabi yang menunjukkan, bahwa wudlu’ itu perlu, hanya untuk shalat.
IV. keterangan yang ke 11. Ini sudah tentu tak bisa dibuat alasan bagi mengharamkan sesuatu, karena riwayat itu sungguhpun dikatakan sah datang¬nya dari ‘Ali, tetapi tidak sah datangnya dari Nabi, sebagaimana yang tersebut dipermulaan tadi.
V. keterangan yang ke 12. Keterangan ini disahkan oleh imam Haitsamie. Selain dari padanya, tidak ada seorangpun yang turut mengesahkannya, ma¬lah pengarang kitab Nailul-Authar yang begitu luas pengala¬mannya tentang Hadiets, masih belum berani menganggap sah Hadiets itu.
Di dalam urusan Hadiets sudah terma’lum, bahwa satu Hadiets yang disahkan oleh satu imam seperti Ahmad, Turmudzi, Baihaqie, Nasai, Ibnu Majah, Abu Dawud, Daraquthni atau Ibnu Hibban itu, belum tentu sah, teristimewa Hadiets yang disahkan oleh imam Haitsamie, yang tidak begitu terkemuka di dalam urusan Hadiets, sebagaimana imam-imam yang tersebut tadi.
Dengan pemandangan yang ringkas itu, dapatlah kita ambil keputusan, bahwa fihak yang tidak mengharamkan itu ada lebih kuat di dalam hal ini, karena mereka sudah berdiri menurut asal (ya’ni tidak haram), yang dikuatkan oleh beberapa riwayat dari isteri dan shahabat-shahabat Nabi.
Adapun fihak yang mengharamkan itu, alasannya semua tidak kuat dan tidak terang menunjukkan kepada haram, kecuali ke¬terangan yang ke 12. Alasan ini belum tentu shahih, dan juga tidak terang menunjukkan kepada haram. Dari itu, sekiranya Hadiets yang ke 12 itu shahih, maka dengan dibantu oleh beberapa riwayat dan Hadiets yang tidak terang pada mengharamkan itu, cuma bisa kita katakan makruh membaca Qur’an, bagi orang yang berjunub.
Lebih dari itu tak bisa !
2). Adapun penjawaban atas pertanyaan yang kedua yang berhubung dengan menyentuh Qur’an itu, sudah dijawab di “Pembela Islam”, Nomor 6, halaman 46. Maka kami minta supaya tuan memeriksa sendiri.
3). Adapun pertanyaan darihal perempuan yang berhaidl masuk kemasjid itu, kami jawab :
Jika masuknya buat duduk, maka haramlah hukumnya. Lihat P.I. nomor 24 halaman 34. Dan jika maksudnya masuk itu, cuma sekedar buat keperluan, itu ada sebahagian ‘ulama’ membolehkan, dan mereka berdalil dengan Hadiets yang tersebut di bawah ini :
Artinya : Telah berkata ‘Aisyah : Rasulullah s.a.w. pernah berkata kepada saya: „Kasihkanlah tikar kecil itu kepadaku dari masjid “. Maka saya berkata : „Sesungguhnya saya masih berhaidl”, lantas beliau berkata : „Sesungguhnya haidlmu itu tidak di tanganmu”.
(H.S. Riwayat Jama’ah, melainkan Bukhari)
dan ada lagi Hadiets :
Artinya : Telah berkata Maimunah : Adalah Rasululluh s.a.w. itu pernah masuk kepada salah satu isterinya yang di waktu itu berhaidl, maka beliau menaruhkan kepalanya di atas pungkuannya sambil membaca Qur’an, padahal dia (isterinya) berhaidl, kemudian berdiri isterinya yang tadi, sambil membawa tikar kecil kepunyaannya s.a.w. ; kemudian ia taruhkan di masjid, padahal ia itu berhaidl.
(H.S.R. Ahmad, Nasai, Abdur-Razzaq, Ibnu Abi Syaiban dan Dliya’)

Soal jawab 1 : 70-79 cet XI Diponegoro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar