S O A L :
Bagaimanakah hukumnya perempuan yang haidl, membaca Qur’an atau menyentuh Qur’an, atau masuk ke masjid ?
Bagaimanakah hukumnya perempuan yang haidl, membaca Qur’an atau menyentuh Qur’an, atau masuk ke masjid ?
J A W A B :
Dipertanyaan ini, ada tiga masalah yang berhubungan dengan perempuan yang berhaidl, yaitu : pertama, perkara membaca Qur’an kedua menyentuh Qur’an dan ketiga, masuk masjid.
Tiga pertanyaan ini, kami jawab dengan keterangan seperti yang tersebut di bawah ini :
Dipertanyaan ini, ada tiga masalah yang berhubungan dengan perempuan yang berhaidl, yaitu : pertama, perkara membaca Qur’an kedua menyentuh Qur’an dan ketiga, masuk masjid.
Tiga pertanyaan ini, kami jawab dengan keterangan seperti yang tersebut di bawah ini :
1). Adapun
tentang perempuan yang berhaidl membaca Qur’an itu, ‘ulama’-'ulama’ yang paling
banyak, ada menghukumkan haram. Mereka itu beralasan dengan Hadiets ini .
Artinya :
Telah berkata Ibnu ‘Umar, sabda Nabi s.a.w. : „Tidak boleh membaca Qur’an orang
yang junub dan tidak boleh (pula) perempuan yang berhaidl”.
(H.R. Abu Dawud, Turmudzi dan Ibnu Majah).
(H.R. Abu Dawud, Turmudzi dan Ibnu Majah).
dan ada lagi
Hadiets :
Artinya :
Telah berkata Ibbir : Sabda Nabi s.a.w. : „Perempuan yang berhaidl dan bernifas
tidak boleh membaca akan sesuatu dari pada Qur’an”.
(H.R. Daraquthni).
(H.R. Daraquthni).
Dua Hadiets
ini, tidak diterima oleh sebahagian ‘ulama’ Ah¬lul-Hadiets, karena lemahnya.
Adapun
keterangan mereka begini :
Hadiets yang pertama itu tidak sah, karena di dalam isnadnya terdapat orang yang bernama Ismail bin ‘Ayasy, maka dia itu dilemahkan oleh imam-imam seperti Ahmad, Bukhari dan lain-lain, dan di Hadiets yang kedua terdapat pula di dalam isnad¬nya orang yang bernama Muhammad bin Fadl-I, padahal dia pula orang yang sudah terkenal sebagai tukang memalsu Hadiets.
Hadiets yang pertama itu tidak sah, karena di dalam isnadnya terdapat orang yang bernama Ismail bin ‘Ayasy, maka dia itu dilemahkan oleh imam-imam seperti Ahmad, Bukhari dan lain-lain, dan di Hadiets yang kedua terdapat pula di dalam isnad¬nya orang yang bernama Muhammad bin Fadl-I, padahal dia pula orang yang sudah terkenal sebagai tukang memalsu Hadiets.
Pendek kata,
tidak ada Hadiets yang sah daripada Rasu¬lullah s.a.w. difasal ini.
Sekarang,
sesudah terang dan nyata kelemahan Hadiets itu, tentu lantas tertolaklah hukum
yang mengatakan, bahwa perempuan yang masih berhaidl atau bernifas tiada boleh
membaca Qur’an itu.
Adapun
dimasalah orang junub membaca Qur’an, ‘ulama’¬’ulama’ ada berlainan faham,
sehingga menjadi dua fihak.
Fihak yang
pertama mengatakan boleh dan yang kedua mengatakan haram. Disini akan saya
terangkan dengan uraian yang jelas dari faham mereka masing-masing, sambil saya
terangkan pula alasan-alasan mereka yang lemah dan yang sah.
Berkata
fihak pertama :
Kami tiada
berani menghukumkan haram pembacaan Qur’an diwaktu junub, karena kami belum
pernah berjumpa Hadiets yang bisa memuaskan hati, yaitu Hadiets yang terang dan
tidak bisa menerima ta’wil serta shahih.
Adapun
Hadiets yang dibuat alasan oleh fihak lain itu begini ,
Artinya:
Telah berkata ‘Ali bin Abi Thalib: Bahwa adalah Rasulullah .s.a.w. sering
membacakan kita akan Qur’an di tiap¬ tiap masa beliau itu keadaannya tidak
berjunub.
(H.R. Ahmad, Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah, Turmudzi, dan ia berkata : Hadiets ini baik shahih).
(H.R. Ahmad, Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah, Turmudzi, dan ia berkata : Hadiets ini baik shahih).
Sebelumnya
kami membantah matannya Hadiets itu, lebih baik kami bantah dulu isnadnya,
karena inilah yang terlebih perlu.
Hadiets tadi
sudah disahkan oleh imam Turmudzi saja, lantaran imam Syafi’ie telah berkata
Artinya :
„Bahwa Ahlul-Hadiets tiada bersama menetapkan sahnya (Hadiets ini)”.
Terbukti
sekarang dari perkataan imam Syafi’ie, bahwa ‘ulama’-'ulama’ yang sebelumnya
imam Turmudzi itu, semua tidak mengesahkan, melainkan imam Turmudzi sendiri
saja, sedang dia itu terbelakang daripada mereka dari apapun juga. Dan berkata
imam Nawawi :
Artinya :
Kebanyakan Ahlul-Hadiets berlainan dengan Turmudzi ; dan mereka dla’ifkan
Hadiets itu.
Dan adapun
lemahnya Hadiets ini, maka dari sebab, bahwa di dalam isnadnya kedapatan
seorang yang bernama Abdullah bin Salimah dan ia itu dilemahkan oleh sekalian
penganjur-penganjur Ahlul-Hadiets.
Dan sebabnya ia dilemahkan, karena ingatannya sudah berubah. Demikian keterangan menurut pemeriksaan imam Al¬Baihaqie, dan berkata Imam Syu’bah :
Dan sebabnya ia dilemahkan, karena ingatannya sudah berubah. Demikian keterangan menurut pemeriksaan imam Al¬Baihaqie, dan berkata Imam Syu’bah :
„Bahwa
Abdullah itu tatkala meriwayatkan Hadiets ini, sesudah tua dan berubah”.
Dan sudah
semestinya Hadiets itu sekarang tertolak, dan walaupun Hadiets itu shahih,
masih belum boleh buat alasan, karena Hadiets yang diriwayatkan oleh shahabat
Ali itu cuma menerangkan perbuatan Nabi s.a.w. yang beliau itu tiada pernah
membaca Qur’an dimasa junub ; dan tiada pernahnya Rasulullah itu tiada
menunjukkan atas haramnya atau makruhnya. Maka dari itu, sekarang kami kembali
kepada Al-bara-atul-ash¬liyah (ketiadaan larangan pada asal) yaitu, boleh membaca
Qur’an oleh siapapun ; dan ‘ulama’-'ulama’ yang membolehkan bacaan bagi orang
yang junub ialah seperti : Bukhari, Thabari, Ibnu-Mundzir, Dawud ; dan mereka
itu beralasan dengan ala¬san-alasan yang seperti di bawah ini
Artinya :
Telah berkata ‘Aisyah, Rasulullbh s.a.w. itu menyebut (nama Allah) ditiap-tiap
masa. (H,S.R. Muslim)
Keterangan
ini tiada mengecualikan masa yang beliau junub. Jikalau memang begitu, tentu
saja Sitti ‘Aisyah menerangkannya.
Maka dengan
Hadiets ini, kami bisa mengambil keputusan, bahwa orang junub itu boleh membaca
Qur’an. Dan pendapat kami diakui pula oleh Ibnu ‘Abbas.
Lihatlah yang di bawah ini :
Lihatlah yang di bawah ini :
Artinya :
Bahwa Ibnu ‘Abbas itu tiada memandang halangan bagi orang junub membaca
(Qur’an).
(R. Bukhari),
(R. Bukhari),
dan ada lagi
:
Artinya :
Telah berkata Hakam (seorang shahabat) : Sesungguhnya saya menyembelih, padahal
saya di waktu junub, karena Allah berkata : Janganlah kamu memakan (sembelihan)
yang tiada disebut nama Allah.
(R. Bukhari),
(R. Bukhari),
ada lagi
pula :
Artinya :
Bahwa lbnu ‘Abbas biasa membaca wiridnya (sebagian dari pada Qur’an) padahal
dia itu junub. (R. Ibnu Mundzir)
ada lagi
riwayat :
Artinya :
Berkata Ibnu ‘Abbas : Abu Sufyan memberi khabar kepada saya, bahwa Hiraklus
pernah minta surat yang dari Nabi s.a.w. kemudian ia bacakan dia, maka disitu
ada (firman AIIah) : Dengan nama Allah Pemurah, Penyayang. Hai orang-orang
Ahlul-Kitab marilah kepada Agama …………
(S.R. Bukhari)
(S.R. Bukhari)
Hiraklus itu
beragama Kristen, dan diagamanya tidak ada perintah yang mewajibkan orang junub
supaya mandi, dan sudah tentu saja tatkala membaca surat dari Nabi s.a.w. itu,
ia ada di dalam junub. Dan ini boleh kami buat pegangan lagi, bahwa orang junub
itu boleh membaca Qur’an. Kalau tiada boleh, tentu saja Nabi kita s.a.w.
tatkala menulis surat itu, tidak akan sertai dengan Ayat.
Sekianlah
keterangan, kami.
Berkata
fihak kedua :
Keterangan
yang ketiga yang dari ‘Ali itu diriwayatkan pula oleh imam-imam, seperti Ibnu
Khuzaimah, Hakim, Bazzar’ Daraquthni dan Baihaqie.
Dan adapun
perkataan yang mengatakan, bahwa Hadiets yang tersebut tadi tiada yang
mengesahkan, melainkan imam Turmudzi saja, ini perkataan amat keliru sekali,
dan tidak cocok dengan kenyataan.
Sebab selain
dia, juga ada yang mengesahkan seperti imam Ibnu Hibban, Ibnu Sakan, Abdulhaq,
Al-Baghawi, Ibnu Khuzaimah dan Syu’bah. Kami akui kelemahan Hadiets ini tentang
ma’nanya, ya’ni tidak terang pada mengharamkan. Perhatikanlah saudara pembaca
akan perkataan baginda ‘Ali, bahwa Nabi s.a.w. sering membacakan Qur’an kepada
shahabat-shahabatnya tiap-tiap masa melainkan beliau berjunub. Ini memberi
arti, bahwa sebabnya beliau meninggalkan itu, boleh jadi oleh karena pembacaan
bagi orang junub itu haram, dan boleh jadi Nabi kita s.a.w. itu tiada suka
membaca, melainkan atas kebersihan.
Lihatlah apa
yang tersebut di bawah ini :
Artinya :
Diriwayatkan daripada Muhajir bin Qunfudz, dia itu pernah memberi salam kepada
Nabi s.a.w. padahal beliau sedang wudlu’, maka beliau tidak menjawab kepadanya,
sehingga selesai daripada wudlu’ ; kemudian menjawab kepadanya sambil berkata :
„Sesungguhnya tiada menjadi halangan bagi saya akan menjawab kepadamu,
melainkan, bahwa saya tidak suka menyebut nama Tuhan, melainkan atas
kebersihan”.
(H.S.R. Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dawud dan Nasai)
(H.S.R. Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dawud dan Nasai)
Jadi
pendeknya, bahwa Nabi s.a.w. tidak membara Qur’an diwaktu junub itu, sebabnya
kurang terang, ya’ni boleh jadi karena haram, dan boleh jadi karena beliau
tiada suka.
Dan tidak
boleh ditentukan tidak-bolehnya, oleh karena haramnya atau tidak sukanya Nabi
s.a.w., melainkan dengan keterangan yang jelas dan sah daripada Rasulullah
s.a.w.
Adapun kami,
maka kami menetapkan, bahwa Nabi tidak membaca Qur’an dimasa junub itu, karena
haram membacanya diwaktu itu.
Inilah
alasan kami :
Artinya :
Berkata ‘Ali : Bahwa Nabi s.a.w. pernah bersabda : „Bacalah kamu akan Qur’an, selama
seorang daripada kamu ti¬dak kena janabat, maka jika kena janabat, tidak boleh
walaupun satu huruf.
(H.S.R. Daraquthni).
(H.S.R. Daraquthni).
Hadiets ini
menunjukkan dengan terang yang tidak boleh diputar-putar lagi. bahwa orang
junub itu diharamkan membaca Qur’an. Sekarang kalau ada orang yang tidak suka
menerima Hadiets ini lantaran Hadiets ini mauquf, ya’ni tidak sampai kepada
Nabi, cuma menjadi perkataannya ‘Ali yang tidak boleh dibuat pegangan, maka
kami unjukkan satu lagi Hadiets yang marfu’ (yang sampai kepada Nabi) yang
tidak bisa orang yang mencari kebenaran dan keinshafan akan menolaknya.
Inilah Hadietsnya :
Inilah Hadietsnya :
Artinya :
Telah berkata ‘Ali : Saya pernah lihat Rasulullah s.a.w. berwudlu’, kemudian
membaca sebahagian daripada Qur’an (sambil bersabda) : „Beginilah bagi orang
yang tiada junub. Adapun yang junub, tidak boleh, walaupun satu Ayat”.
(H.S.R. Abu Ya’laa)
(H.S.R. Abu Ya’laa)
Hadiets ini
kami sahkan, karena belum berjumpa di dalam isnadnya seorang yang tertuduh
dengan ……… dan memang kami belum pernah mendengar dari seorang Ahlul-Hadiets
yang melemahkan sanadnya. Kalau ada tunjukkanlah namanya kepada kami, tentu
akan kami terima dengan senang hati. Dan telah kami jumpai perkataan dari
seorang Ahlul-Hadiets yang namanya itu Al-Haitsamie terhadap kepada Hadiets
yang tersebut artinya : Orang-orang yang menceriterakan Hadiets ini boleh
dipercaya. Dan sesudah terang sahnya Hadiets ini bagi orang yang inshaf, maka
kami berkata, bahwa Hadiets ini bisa menyinari Hadiets-hadiets yang dianggap
gelap oleh lain-lain dari kami.
Pendapat
kami terhadap kepada alasan-alasan fihak pertama.
Kami
berkata, bahwa alasan fihak pertama dari riwayat Aisyah, bahwa Nabi s.a.w.
senantiasa menyebut nama Tuhan ditiap-tiap masa itu, tidak membuktikan kalau
Nabi s.a.w. itu ada pernah membaca Qur’an dimasa junub, adapun keterangan kami
ialah Hadiets-hadiets yang kami terangkan di atas tadi yang mana Rasulullah
telah haramkan bacaan Qur’an, walaupun satu Ayat dimasa junub, dan sabda
Rasulullah s.a.w. terhadap kepada Muhajir yg memberi salam kepadanya yang mana
beliau itu waktu berhadats kecil dengan perkataan : „Saya tidak suka menyebut
nama Allah melainkan atas kebersihan”.
Ketahuilah,
jika Nabi kita itu tidak suka menyebut nama Allah diwaktu yang beliau berhadats
kecil, apa lagi diwaktu berhadats besar.
Adapun
alasan mereka dengan riwayat dari Ibnu ‘Abbas dan satu dari Hakam, kami tidak
suka menerima, karena imam Bukhari itu menceritakan riwayat-riwayat itu dengan
tidak ada isnad. Dan walaupun sah dari Ibnu ‘Abbas dan Hakam, ya, tidak kami
terima, sebab tidak cocok dengan Hadiets yang sah dari Nabi s.a.w.
Adapun surat
Nabi kita s.a.w. yang memuat Ayat-ayat yang dibaca oleh Hiraklus itu tiada
keterangan, bahwa ia tatkala baca surat itu ada dimasa junub.
Lantaran
itu, maka tertolaklah alasan ini. Sekianlah keterangan kami. Md. Mm.
Pemandangan
Tiap-tiap
satu perkara sebelum ada larangan, halal dikerja¬kan. Orang junub membaca
Qur’an itu pada asalnya tentu halal, malahan membaca Qur’an itu diperintah
dengan tidak disertakan syarat apa-apa. Kemudian dari itu ada larangan. Larangan
itu perlu ditimbang.
Kita sudah
tau tadi, bahwa membaca Qur’an oleh orang yang junub itu pada asalnya halal.
Halalnya itu dikuatkan oleh satu riwayat dari ‘Aisyah yang berkata, bahwa Rasulullah menyebut Allah itu tidak memilih waktu. Kalau sekiranya membaca Qur’an diwaktu junub itu haram, tidak patut, tidak dikecualikan oleh Sitti ‘Aisyah diriwayat ini atau diriwayat lain.
Halalnya itu dikuatkan oleh satu riwayat dari ‘Aisyah yang berkata, bahwa Rasulullah menyebut Allah itu tidak memilih waktu. Kalau sekiranya membaca Qur’an diwaktu junub itu haram, tidak patut, tidak dikecualikan oleh Sitti ‘Aisyah diriwayat ini atau diriwayat lain.
Juga
dikuatkan oleh riwayat Ibnu ‘Abbas (keterangan ke 2) yang tidak memandang haram
orang junub membaca Qur’an. Riwayat Ibnu ‘Abbas itu menunjukkan. bahwa
dizamannya sendiri, sudah jadi pembicaraan tentang itu.
Kalau betul
hal itu haram, tidak patut tidak tersiar dizaman Nabi s.a.w. dan tidak patut
tidak diketahui oleh Ibnu ‘Abas yang begitu rapat kepada Nabi.
Keterangan
ke 7, riwayat Hakam (seorang shahabat Nabi), juga menunjukkan yang ia sudah
dengar ada orang berkata : Orang junub tak boleh sebut nama Allah.
Tetapi
dengan terang, Hakam mengaku yang ia sembelih di dalam waktu ia berjunub,
dengan sebut nama Allah. Kalau sekiranya hal itu betul haram, tak patut Hakam
itu tidak tahu, dan tak patut ia langgar dengan tidak periksa lebih dahulu.
Keterangan
yang ke 8, menerangkan Ibnu ‘Abbas biasa membaca wiridnya dari Qur’an dengan
berjunub. Kalau betul dan sah ada larangan dari Nabi, tentulah Ibnu ‘Abbas
tidak lakukan begitu. Ditambah pula oleh keterangan yang ke 9, yang menunjukkan
Nabi ada kirim surat kepada Hiraklus itu dengan Ayat¬ayat Qur’an. Kalau hal itu
betul haram, tentulah Rasululah tidak kirim surat itu kepadanya, karena sudah
tentu raja itu tidak ada mandi janabat dulu buat pegang dan baca surat itu.
Golongan yang menyatakan haram membaca Qur’an diwaktu junub itu alasannya :
I. keterangan yang ke 1 dan ke 3. Dua-dua Hadiets itu lemah, tak boleh dibikin alasan.
II. keterangan yang ke 3.
Ini juga lemah. Didla’ifkan oleh semua Ahlul-Hadiets.
III. keterangan yang ke 10. Keterangan ini tidak berhubungan dengan junub, hanya berhubungan dengan hadats kecil.
Keterangan ini dapat dijatuhkan oleh beberapa riwayat dari Nabi yang menunjukkan, bahwa wudlu’ itu perlu, hanya untuk shalat.
IV. keterangan yang ke 11. Ini sudah tentu tak bisa dibuat alasan bagi mengharamkan sesuatu, karena riwayat itu sungguhpun dikatakan sah datang¬nya dari ‘Ali, tetapi tidak sah datangnya dari Nabi, sebagaimana yang tersebut dipermulaan tadi.
V. keterangan yang ke 12. Keterangan ini disahkan oleh imam Haitsamie. Selain dari padanya, tidak ada seorangpun yang turut mengesahkannya, ma¬lah pengarang kitab Nailul-Authar yang begitu luas pengala¬mannya tentang Hadiets, masih belum berani menganggap sah Hadiets itu.
Di dalam urusan Hadiets sudah terma’lum, bahwa satu Hadiets yang disahkan oleh satu imam seperti Ahmad, Turmudzi, Baihaqie, Nasai, Ibnu Majah, Abu Dawud, Daraquthni atau Ibnu Hibban itu, belum tentu sah, teristimewa Hadiets yang disahkan oleh imam Haitsamie, yang tidak begitu terkemuka di dalam urusan Hadiets, sebagaimana imam-imam yang tersebut tadi.
I. keterangan yang ke 1 dan ke 3. Dua-dua Hadiets itu lemah, tak boleh dibikin alasan.
II. keterangan yang ke 3.
Ini juga lemah. Didla’ifkan oleh semua Ahlul-Hadiets.
III. keterangan yang ke 10. Keterangan ini tidak berhubungan dengan junub, hanya berhubungan dengan hadats kecil.
Keterangan ini dapat dijatuhkan oleh beberapa riwayat dari Nabi yang menunjukkan, bahwa wudlu’ itu perlu, hanya untuk shalat.
IV. keterangan yang ke 11. Ini sudah tentu tak bisa dibuat alasan bagi mengharamkan sesuatu, karena riwayat itu sungguhpun dikatakan sah datang¬nya dari ‘Ali, tetapi tidak sah datangnya dari Nabi, sebagaimana yang tersebut dipermulaan tadi.
V. keterangan yang ke 12. Keterangan ini disahkan oleh imam Haitsamie. Selain dari padanya, tidak ada seorangpun yang turut mengesahkannya, ma¬lah pengarang kitab Nailul-Authar yang begitu luas pengala¬mannya tentang Hadiets, masih belum berani menganggap sah Hadiets itu.
Di dalam urusan Hadiets sudah terma’lum, bahwa satu Hadiets yang disahkan oleh satu imam seperti Ahmad, Turmudzi, Baihaqie, Nasai, Ibnu Majah, Abu Dawud, Daraquthni atau Ibnu Hibban itu, belum tentu sah, teristimewa Hadiets yang disahkan oleh imam Haitsamie, yang tidak begitu terkemuka di dalam urusan Hadiets, sebagaimana imam-imam yang tersebut tadi.
Dengan
pemandangan yang ringkas itu, dapatlah kita ambil keputusan, bahwa fihak yang
tidak mengharamkan itu ada lebih kuat di dalam hal ini, karena mereka sudah
berdiri menurut asal (ya’ni tidak haram), yang dikuatkan oleh beberapa riwayat
dari isteri dan shahabat-shahabat Nabi.
Adapun fihak
yang mengharamkan itu, alasannya semua tidak kuat dan tidak terang menunjukkan
kepada haram, kecuali ke¬terangan yang ke 12. Alasan ini belum tentu shahih,
dan juga tidak terang menunjukkan kepada haram. Dari itu, sekiranya Hadiets
yang ke 12 itu shahih, maka dengan dibantu oleh beberapa riwayat dan Hadiets
yang tidak terang pada mengharamkan itu, cuma bisa kita katakan makruh membaca
Qur’an, bagi orang yang berjunub.
Lebih dari itu tak bisa !
Lebih dari itu tak bisa !
2). Adapun
penjawaban atas pertanyaan yang kedua yang berhubung dengan menyentuh Qur’an
itu, sudah dijawab di “Pembela Islam”, Nomor 6, halaman 46. Maka kami minta
supaya tuan memeriksa sendiri.
3). Adapun
pertanyaan darihal perempuan yang berhaidl masuk kemasjid itu, kami jawab :
Jika
masuknya buat duduk, maka haramlah hukumnya. Lihat P.I. nomor 24 halaman 34.
Dan jika maksudnya masuk itu, cuma sekedar buat keperluan, itu ada sebahagian
‘ulama’ membolehkan, dan mereka berdalil dengan Hadiets yang tersebut di bawah
ini :
Artinya :
Telah berkata ‘Aisyah : Rasulullah s.a.w. pernah berkata kepada saya:
„Kasihkanlah tikar kecil itu kepadaku dari masjid “. Maka saya berkata :
„Sesungguhnya saya masih berhaidl”, lantas beliau berkata : „Sesungguhnya
haidlmu itu tidak di tanganmu”.
(H.S. Riwayat Jama’ah, melainkan Bukhari)
dan ada lagi Hadiets :
(H.S. Riwayat Jama’ah, melainkan Bukhari)
dan ada lagi Hadiets :
Artinya :
Telah berkata Maimunah : Adalah Rasululluh s.a.w. itu pernah masuk kepada salah
satu isterinya yang di waktu itu berhaidl, maka beliau menaruhkan kepalanya di
atas pungkuannya sambil membaca Qur’an, padahal dia (isterinya) berhaidl,
kemudian berdiri isterinya yang tadi, sambil membawa tikar kecil kepunyaannya
s.a.w. ; kemudian ia taruhkan di masjid, padahal ia itu berhaidl.
(H.S.R. Ahmad, Nasai, Abdur-Razzaq, Ibnu Abi Syaiban dan Dliya’)
(H.S.R. Ahmad, Nasai, Abdur-Razzaq, Ibnu Abi Syaiban dan Dliya’)
Soal jawab 1 : 70-79 cet XI Diponegoro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar