SOAL : Sesudah berwudlu’,
bolehkah air yang ada di anggauta-anggauta wudlu’ itu, digosok dengan kain atau
saputangan ?
JAWAB : Sapu muka, tangan dan
lain-lain anggauta wudlu’ sesudah berwudlu’ – walaupun urusan kedunia’an – menjadi
pembicaraan antara ulama-ulama, berhubungan dengan adanya beberapa keterangan.
Sehingga terbagilah mereka menjadi tiga golongan :
·
Golongan yang pertama
berkata : Tidak boleh.
·
Golongan yang kedua berkata
: Makruh.
·
Golongan yang ketiga berkata : Boleh.
Di bawah ini, saya terangkan
alasan-alasan bagi tiap-tiap golongan itu :
ALASAN GOLONGAN PERTAMA :
Golongan ini berkata : Tidak
boleh menyapu anggauta-anggauta wudlu’, dengan alasan sabda Nabi saw :
“Apabila kamu berwudlu’, siramlah mata-mata
kamu dengan air, janganlah kamu kebas-kebas akan tangan-tangan kamu daripada
air. (ya’ni janganlah kamu kebas /goncang tangan kamu buat menghilangkan
airnya).” H.R. Abu Haatim
Dari sabda Nabi ini teranglah,
bahwa apabila kita sudah berwudlu’ tidak boleh anggauta-anggauta wudlu’ itu,
kita keringkan dengan saputangan atau sebagainya.
ALASAN GOLONGAN KEDUA :
Golongan ini berkata, bahwa
mengeringkan anggauta-anggauta wudlu’ sesudah berwudlu itu makruh, lantaran ada
diriwayatkan :
“Telah berkata Maimunah : “Aku
pernah sediakan bagi Rasulullah saw air mandinya buat mandi janabat...kemudian
aku bawakan baginya saputangan, tetapi ia tolak saputangan itu.” S.R. Bukhari
dan Nasaa-i
Riwayat ini menerangkan, bahwa
sesudah mandi janabat, Maimunah berikan kepada Nabi saw saputangan buat
mengeringkan badannya, tetapi Rasulullah tolak dan tidak mau terima saputangan
itu. Dengan penolakan ini, berarti Rasulullah saw tidak suka keringkan badannya
dengan kain atau sebagainya. Sedangkan ndidalam mandi janabat itu, sudah ada
wudlunya. Oleh karena itu, apabila sasudah wudlu biasapun, tidak disukai
(makruh) seseorang menyapu tangan, muka dan lain-lain anggauta wudlunya dengan
saputangan atau lainnya.
Dan ada riwayat :
“Dari Anas, bahwa Rasulullah saw
tidak pernah sapu mukanya dengan saputangan sesudah berwudlu dan tidak (pula)
Abu Bakar, tidak Unar dan tidak Ibnu Mas’ud.” R. Ibnu Syaahien.
“Dari Zuhri. Ia berkata :
“Dibenci menggunakan saputangan sesudah berwudlu itu, melainkan karena wudlu
itu ditimbang.” R. Tirmidzi.
Dari riwayat-riwayat ini semua,
dapat diambil keputusan, bahwa tidak disukai (makruh) menyapu atau mengeringkan
anggauta-anggauta wudlu sesudah wudlu.
ALASAN GOLONGAN KETIGA :
Golongan ini, berpendapat boleh
mengeringakan anggauta wudlu, dengan berkata , bahwa perbuatan itu, masuk
urusan kedunia’an dan tidak pula ada laranganmya dari agama.
Adapun hadits yang pertama itu,
sebagaimana tersebut dalam kitab “ilalul hadits” tidak sah datangnya dari Nabi.
Oleh imam Abu Haatim hadits itu dianggap munkar, tertolak.
Riwayat yang kedua itu, belum
menunjukkan makruh, karena Nabi tolak saputangan itu, bisa jadi lantaran tidak
perlu atau bisa jadi juga merasa cukup dengan tidak dikeringkan sesudah wudlu
pada waktu itu.
Riwayat yang ketiga dari Anas
itu, tidak bisa dijadikan alasan, lantaran lemah riwayatnya.
Riwayat yang keempat itu, bukan
sabda Nabi, tetapi faham imam Zuhri, bahwa oleh karena wudlu itu nanti di hari
kemudian akan ditimbang, maka tidak patut ia disapu. Lantaran barangkali pada
pandangannya bisa mengurangkan beratnya timbangan. Faham seseorang dengan tidak
ada keterangan dari agama, tidak dapat kita jadikan alasan buat makruhnya.
Tambahan pula ada beberapa
riwayat yang menunjukkan Nabi saw ada pernah memakai saputangan dan sebagainya
buat menggosok/menyapu mukanya :
“Dari ‘Aisyah, ia berkat :
“Adalah bagi Rasulullah saw satu kain perca yang ia keringkan (anggauta)
dengannya sesudah wudlu.” R. Tirmidzi dan Haakim.
“Dari Salman Al-Faarisie, bahwa
Rasulullah saw pernah berwudlu lalu ia balikkan jubah bulu yang ia pakai, lalu
ia sapu mukanya dengan itu.” R. Ibnu Majah dengan sanad yang shahih.
Selain dari dua riwayat itu,
walaupun ada diperselisihkan ulama tentang sahnya, ada satu keterangan yang
diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dawud, Nasaa-i, bahwa Nabi pernah pakai
kain yang dicelup dengan za’faraan atau waras buat menyeka badannya, sesudah
mandi, atau sesudah berwudlu.
A.H.
Sumber : Kitab Soal Jawab A.
Hassan jilid III hal 813-816 cetakan XI penerbit cv Diponegoro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar